Nama: Aflina Mustafainah
Lahir: di Makassar, 5 Oktober 1975
Alamat: Jl. G. Tinggimae I no. 10 Makassar
Komisariat: Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar
Pengkaderan di HMI
1. Formal: - LK I HMI di Komisariat Fakultas Syari’ah tahun 1994
- LK II di Komisariat Fakultas Kedokteran tahun 1997
- LK III ikut tapi tidak selesai di Jakarta
2. Non Formal: - LKK Kohati di HMI Cabang Bogor
- Upgrading kepengurusan, kesekretariatan dan kebendaharaan di HMI Cabang Makassar
- Coaching Instruktur di HMI Cabang Makassar
- Training NDP
- Dll, lupa
Training di luar HMI
1. Disaster Manajemen Banjir Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) tahun 1996. Saya menjadi volunteer di Walhi dan dipercayakan untuk mengkoordinir class action yaitu gugatan korban banjir kepada Walikota Makassar saat itu (Malik B. Masri)
2. Training of Trainer Voter Education FIK Ornop tahun 1998 dan Training of Trainer Voter Education Forum Pemerhati Masalah Perempuan tahun 1999. Pasca training ini kami melatih 2000 volunteer perempuan untuk menjadi pemantau pemilu tahun 1999. Dimana pemilu tahun ini menjadi moment pemilu pertama pasca runtuhnya rezim orde baru. Partai Golongan Karya untuk pertama kalinya mendapat deraan dengan multy party system. Pada saat itu ‘pemilih’ masih memilih tanda gambar partai. Partailah yang menentukan wakil rakyat dan memilih presiden. Sistem ini lah yang kita perjuangkan bersama dengan ‘konstitusi baru’ dimana orang harus memilih secara langsung baik wakil rakyat maupun presiden RI. Juga memberi kewenangan berimbang pada legislative, yudikatif, dan eksekutif
3. Pelatihan Advokasi untuk pelayanan kesehatan reproduksi perempuan oleh YLKI
4. Pelatihan Advokasi Anti Utang, INFID
5. Training of Training Hak Asasi Manusia Cesda, LP3ES
6. Sekolah Multilateral Development Banks Debt Watch Indonesia
7. Menulis 3 modul; 1) manual pendidikan dasar globalisasi 2) Pendidikan Kader Menengah Koalisi Perempuan Indonesia 3) Modul Adil Gender bagi Siswa SMP Kota Makassar
8. Dll
Pertama kali saya berkiprah di Kohati tahun 1994. Terlibat dalam diskusi rutin HMI Cabang Makassar dan HMI Komisariat Fakultas Syari’ah dan HMI Korkom IAIN Alauddin Makassar. Banyak perempuan cerdas pada saat itu saya temukan. Mereka memiliki perspektif yang berbeda-beda dan berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda beda. Situasi ini menurut hemat saya justru menjadi sebuah proses yang dinamik dan membuat saya melihat dunia dari berbagai macam warna. Namun kami terbungkus dari frame yang sama yaitu organisasi mahasiswa Islam. Sahnya perbedaan-perbedaan cara pandang di kalangan teman-teman Kohati pada saat itu dipengaruhi juga oleh situasi politik pemerintahan Orde Baru. Peredaran buku-buku tidak sesemarak sekarang. Setiap kali ada buku atau tulisan yang dilarang beredar maka akan kita kejar dan menjadi bahan diskusi. Kerap kali satu buku kami baca bergantian, sehingga kami terbiasa membaca cepat. Tradisi membaca dan berdiskusi sangat melekat pada kami. Kami sangat menghargai kehadiran para senior yang sedang pendidikan di luar Makassar, setiap kali mereka datang berdiskusi dengan kami pasti ada hal baru yang akan mengayakan cara pandang kami. Sedikit demi sedikit, tradisi membaca dan diskusi ini tidak hanya membentuk brain kami tetapi juga behavior dan attitude.
Di dalam Kohati sendiri kami berdiskusi khusus hal-hal yang menyangkut problem perempuan. Seperti mengasah keberanian perempuan untuk menjadi instruktur dan menghadapi situasi dalam hal berdebat dan berdiskusi di ruang umum. Keterampilan ini kami asah dengan memberi aturan pada Pengurus Kohati untuk menguasai materi ke-Kohati-an dan 1 materi NDK/NDP. Kami melaluinya dengan magang pada para instruktur dan pemateri. Akhirnya Pengurus Kohati diperhitungkan kiprahnya dalam pengkaderan HMI. Tidak sedikit diantara kami yang menjadi instruktur, pemateri, bahkan Master of Training di basic Training HMI.
Dari sisi keIslaman, kami mempelajari hal-hal yang menurut pandangan HMI-wan sangat sederhana pada saat itu. Seperti pemahaman soal hadats, najis, cara menyucikan diri, sholat, cara do’a diijabah. Serta amalan apa yang diperbuat oleh perempuan yang mengangkat pride di hadapan Tuhan dan di hadapan manusia. Karena bagi kami Kohati adalah sebuah lembaga yang mencirikan perempuan muslimah. Sehingga di dalam dunia gerakan perempuan kami tetap harus memiliki identitas muslimah sebagai identitas organisasi Islam.
Untuk memperkuat posisi Kohati dalam gerakan perempuan, kami melakukan networking dengan organisasi-organisasi perempuan lainnya. Baik yang tergabung dalam kelompok Cipayung maupun organisasi massa terbuka. Gerakan ini bukan sekedar gerakan mahasiswa tetapi juga menjadi gerakan perlawanan pada orde baru saat itu. Pengkooptasian organisasi perempuan pada PKK dan Dharma Wanita adalah pelemahan gerakan perempuan. Juga melemahkan posisi dan kondisi perempuan di hadapan laki-laki, di hadapan hukum, di hadapan Negara dan lainnya. Gerakan kohati yang mendapat jempol dari beberapa organisasi pada saat itu saat kami melakukan gerakan ‘pembubaran Dharma Wanita’. Saat kami membuat pertemuan, pimpinan-pimpinan DW tidak berani hadir berdialog. Patut dicatat bahwa Kepemimpinan perempuan di Dharma Wanita dan PKK berdasarkan jabatan suaminya. Sekecil apapun kapasitasnya, jika suaminya kepala di satu instansi, maka akan menjadi ketua DW. Situasi inilah yang menurut kajian kami di Kohati adalah upaya pelemahan perempuan cerdas oleh orde baru.
Segelintir HMI-wan juga menggugat kelembagaan Kohati karena mengaggap Kohati ekslusif dan mengecilkan diri sehingga tidak mampu berkompetisi secara terbuka dengan HMI-wan. Isu pembubarannya diinisiasi menjelang kongres 1999 di Jambi. Namun secara kuat anggota Kohati menjawab tantangan ini dengan mempertahankan eksistensi Kohati. Akhirnya pada kongres Jambi 1999 ada 3 opsi yang dimunculkan. Kohati menjadi badan otonom, kohati tetap menjadi lembaga ex officio atau dihapuskan. Dalam pembahasan komisi D, isu ini dibahas khusus. Bahwa dalam pasal 6 AD HMI tetap dicantumkan kelembagaan Kohati. Adapun aktivitas Kohati secara internal dan eksternal diperkuat dengan membangun networking dan membanahi kapasitas HMI-Wati agar dapat memiliki kekaderan insane cita
Bagi saya kelembagaan Kohati saat ini jauh lebih independen dan mandiri. Dahulu untuk menentukan jabatan ketua Kohati, musyawarah Kohati hanya memilih tiga orang calon, ketua HMI di jenjang Cabang, korkom atau Komisarit lah yang memilih ketua dari tiga calon yang diajukan. Subordinasi terasa karena situasi ini dapat dipolitisasi. Di lain sisi HMI-Wati tidak memiliki kekuatan dan integritas yang utuh dalam menjalankan roda kepemimpinan Kohati. Saat ini kebijakan telah berubah dan kelembagaan Kohati jauh lebih memiliki pride. Dan yang terpenting tidak ada posisi kelas dua dalam kelembagaan baik di Kohati maupun HMI
Saya hanya ingin menyarankan bahwa kekuatan posisi lembaga Kohati ini harus dijawab dan dikuatkan oleh teman-teman HMI-Wati dengan membenahi kapasitas diri masing-masing. Tentunya pengurus membutuhkan banyak energy untuk building capacity and integrity HMI-Wati. Namun meskipun berat, lakukan apa yang diimpikan. Belajar dengan cara ber networking dengan organisasi mahasiswa dan organisasi perempuan. Dan bangun trust di seluruh penjuru agar Kohati dapat diperhitungkan lembaga lain
Makassar, 26 mai 2012

0 komentar:
Posting Komentar