Home » » Di Atas Kertas-Kertas Suara: Menuju Pemilukada Sulsel 2013

Di Atas Kertas-Kertas Suara: Menuju Pemilukada Sulsel 2013

Written By Unknown on Minggu, 30 Desember 2012 | 22.27


Oleh
30 Desember 2012 |  Pukul 1:31 ·
“Anginlah Engkau, dan kami daun kayu. Kemana engkau berhembus, kesana kita serta. Kehendakmu menjadi kehendak kami pula. Apapun titahmu, kami junjung. Perintahkanlah, kami penuhi. Mintalah dari kami dan kami akan memberimu. Engkau menyeru, kami datang. Terhadap anak-isteri kami yang engkau cela, kami pun mencelanya. Akan tetapi, pimpinlah kami kearah ketentraman, kesejahteraan dan perdamaian”  (La Toa: Mattulada, 1995)
             Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur) Provinsi Sulawesi Selatan sedianya akan dilaksanakan pada tanggal 22 Januari 2013 menjadi momen berharga di awal tahun. Semarak pengawalan dinamika sosial politik telah gaduh sejak medio 2011-2012 ini ketika beberapa kandidat/team dari berbagai kalangan mengampanyekan dirinya untuk maju pada proses politik tersebut, tentu memberi refleksi betapa banyak energy telah dikeluarkan dan betapa banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Dan akhirnya, ujian penentu untuk terpilih pada proses esok akan mengusung 3 kandidat masing-masing Ilham Arief Siradjuddin-Azis Kahar Muzakkar, Incumbent Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang, serta Andi Rudiyanto Asapa-Andi Nawir. Sebuah harapan, hasil yang dicapai tidak semata berbicara menang-kalah, di sisi lain ada titik-titik proses yang seyogyanya mudah-mudahan berhasil dicatatkan dalam sejarah bahwa perjalanan menuju kekuasaan dalam dinamika politik Sul-Sel adalah perjalanan mendewasakan kedaulatan rakyat yang secara antropologi politik dalam sejarah literasi naskah-naskah lontara’ masa lampau telah terjalin interaksi yang cukup baik dan penuh dengan spirit persatuan, keadilan, dan menjunjung harkat martabat manusia.
            Meski proses politik yang selama ini dilalui di tingkatan lokal, regional, dan nasional dinilai terlalu riuh dan tidak sedikit memunculkan rasa muak dan apatis terhadap proses yang ada, seolah membenarkan tesis Hobbes mengenai “Politik Muka Dua”, politik yang hanya menawarkan iming-iming kekuasaan, dinikmati segelintir orang yang berada di sekitaran kursi dan melempar jauh para lawan yang selama ini menghalau jalan. Tidak mudah menghadirkan kepercayaan di hati rakyat melihat dinamika kebangsaan hari ini yang begitu penuh euphoria pencitraan tetapi disisi lain ketimpangan, kemiskinan, kerusuhan sosial dan perilaku amoral penguasanya menjadi gelisah saban hari.
            Dalam sejarah pemikiran politik modern awal, terdapat tiga orang yang dianggap publik/ pembaca sebagai orang yang penuh tipu daya atau sebagaimana dinyatakan Hobbes, memainkan peran jahat. Mereka adalah Machiavelli, Hobbes dan Bernarld Mandeville yang dikenal pula dengan sebutan “Man-Devil” (orang jahat). Dalam lakon politik sejalan dengan yang dipaparkan David Runciman seorang dosen senior teori politik serta penulis The Politics of Good Intentions seolah membenarkan bahwa begitu banyak kemunafikan yang terjadi dalam dunia politik kontemporer-tidak diragukan, publik pun diam-diam masing-masing mempunyai contoh favorit mulai dari para pezina moralis hingga orang-orang yang suka membenarkan kesalahan (mudslinging de-gooders). Mengikuti akar filsafat Hobbes maupun Runciman tentu wacana itu tidak mengherankan. Tidak seorang pun menyukainya, tetapi setiap orang ada di dalamnya menjadikan politik “bermuka dua” dan bebas nilai. Dalam konteks local wisdom tentu kita bisa melihat kajian yang lebih memanusiakan lagi. Tetapi, sebuah kondisi sosial lokal masyarakat bugis Makassar tentang terawang “taue pada sianre bale” merupakan terawang politik masa depan yang akan terjadi jika kita menyeruput mentah-mentah politik hanya sebagai alat mendapatkan kekuasaan belaka.
Trilogi Will, Mind, Power
Tindakan korup/ menyimpang adalah tindak kekuasaan. Kekuasaan adalah kekuatan. Nenek moyang Indonesia mengenal trilogy tekad, ucap, lampah atau Will, Mind, Power yang mana ketiganya adalah satu. Sejarah hati nurani rakyat, pikiran rakyat, dan kekuatan rakyat di Indonesia telah membuktikan kesabarannya yang luar biasa. Ronggowarsito mengajarkan pada kita, bahwa kehendak dan pemikiran Negara baik-baik saja, namun Negara toh tetap edan. Ini akibat eksekusi tidak sejalan dengan niat dan pikirannya. Atau karena tindakan Negara digantikan oleh logika orang-orang tidak waras: korup dulu, perkara belakangan. Lihatlah para pemimpin kita di zaman kolonial yang ingin membebaskan rakyatnya dari penjajahan. Mereka rela dipenjara sebelum rakyatnya merdeka dari penjajahan, kemiskinan dan kebodohan. Sampai tua pun, setelah rakyat merdeka, mereka pantang kaya seperti yang diperlihatkan Bung Hatta, Bung Sjahrir, Haji Agus Salim,Tan Malaka, dan Ki Hajar Dewantoro. Mereka berpikir untuk rakyat, tidak memikirkan diri dan keluarganya. Sejak 1950 setelah kemerdekaan, kisah kegagalan demi kegagalan dipertontonkan para pemimpin Indonesia. Dengan kedok “atas nama rakyat” mereka rakus mengurus diri sendiri. Hajat orang banyak hanya berhenti pada kata-kata. Kekuasaan hanya dilihat sebagai kue raksasa yang nikmat untuk dibagi dan diperebutkan. Rakyat hanya pelengkap, bukan subjek kalimat lagi. Rakyat hanya bulan-bulanan para pemimpinnya (Jacob Sumardjo,2012)
Memimpin Indonesia, memimpin Sulawesi Selatan adalah memimpin manusia-manusia. Rakyat adalah manusia, bukan gerombolan binatang yang bisa dinaikkan ke atas truk lalu dipindah kesana-kemari, dari periode ke periode tanpa perubahan berarti. Dalam lontara Latoa yang memuat percakapan Petta Matinroe ri Lariang, seorang bangsawan dan pemikir kerajaan Bone dengan Petta Tomarilaleng Pawelaie ri Lompu dikemukakan paseng (petuah):
Pada Toi, iko pakkatẽnni adẽ’e. Issẽng majeppui riasẽng nge adẽ’. Muatutuiwi, mupakaraja, apa adẽ’e ritu riasẽng tau. Nakko temmuissẽnggi riasẽng nge adẽ’ tencaji ri tu riasẽng nge tau. Apa de’tu appongẽnna adẽ’e, sangngadinna lẽmpu’e, muparajaiwi tau mu ri dewata e, mumatanre siri’, apa ianaritu to maraja tau’ e ri adẽ’e, matanre siri, iana ritu tau temmassarang lempu’e, tau makkuae.
Seperti juga, hai engkau pemangku adat, pahamilah dengan sungguh-sungguh apa yang disebut ade’, peliharalah, hormatilah, karena ade’ itulah yang disebut manusia. Apabila engkau tak mengetahui apa yang disebut ade’ maka tak jadilah manusia itu disebut manusia karena tak ada pangkalnya ade’ itu kecuali kejujuran. Besarkanlah takutmu kepada Dewata dan pertinggilah siri’, karena adapun orang yang disebut besar takutnya kepada Dewata dan tinggi siri’nya itulah orang yang tak terpisah dengan kejujuran (A. Mattulada, 1985)
Rakyat yang miskin, kurang pendidikan adalah rakyat dengan penderitaannya sendiri, mempercayai mereka yang ditunjuk sebagai pemimpin. Keteladanan sang pemimpin dicari seperti keteladanan Agus Salim yang masih mengontrak rumah meski berkali-kali menjadi menteri. Tidaklah kita boleh lupa pada pasẽng yang berbunyi:
“….. dia adalah penyuci negeri (orang banyak), penghimpun orang banyak agar tidak bercerai berai, pemagar negeri agar tidak dirasuki perbuatan sewenang-wenang, tempat berlindungnya orang lemah lagi jujur, tempat terbenturnya orang kuat lagi culas.
            Menjelang hari H pemilihan Kepala Daerah, di atas kertas-kertas suara dititipkan harkat dan martabat kita kepada satu figure untuk membangun konsolidasi dan mencetak prestasi-prestasi lebih besar lagi ke depan. Meski kami tak kenal siapa saudara, saudara dipilih bukan dilotre (Iwan Fals).
Selamat tahun baru 2013, selamat mengawal pesta demokrasi 22 Januari, selamat mengawal pemerintahan yang bersih seterusnya.


Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. , - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger