Oleh
30 Desember 2012 | Pukul 1:31 ·
“Anginlah Engkau, dan kami daun kayu. Kemana engkau
berhembus, kesana kita serta. Kehendakmu menjadi kehendak kami pula. Apapun
titahmu, kami junjung. Perintahkanlah, kami penuhi. Mintalah dari kami dan kami
akan memberimu. Engkau menyeru, kami datang. Terhadap anak-isteri kami yang
engkau cela, kami pun mencelanya. Akan tetapi, pimpinlah kami kearah
ketentraman, kesejahteraan dan perdamaian” (La Toa: Mattulada, 1995)
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur) Provinsi
Sulawesi Selatan sedianya akan dilaksanakan pada tanggal 22 Januari 2013 menjadi
momen berharga di awal tahun. Semarak pengawalan dinamika sosial politik telah
gaduh sejak medio 2011-2012 ini ketika beberapa kandidat/team dari
berbagai kalangan mengampanyekan dirinya untuk maju pada proses politik
tersebut, tentu memberi refleksi betapa banyak energy telah dikeluarkan
dan betapa banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Dan akhirnya, ujian penentu
untuk terpilih pada proses esok akan mengusung 3 kandidat masing-masing Ilham
Arief Siradjuddin-Azis Kahar Muzakkar, Incumbent Syahrul Yasin Limpo-Agus
Arifin Nu’mang, serta Andi Rudiyanto Asapa-Andi Nawir. Sebuah harapan, hasil
yang dicapai tidak semata berbicara menang-kalah, di sisi lain ada titik-titik
proses yang seyogyanya mudah-mudahan berhasil dicatatkan dalam sejarah bahwa
perjalanan menuju kekuasaan dalam dinamika politik Sul-Sel adalah perjalanan
mendewasakan kedaulatan rakyat yang secara antropologi politik dalam sejarah
literasi naskah-naskah lontara’ masa lampau telah terjalin interaksi yang cukup
baik dan penuh dengan spirit persatuan, keadilan, dan menjunjung harkat
martabat manusia.
Meski proses politik yang selama ini dilalui di tingkatan lokal, regional, dan
nasional dinilai terlalu riuh dan tidak sedikit memunculkan rasa muak dan
apatis terhadap proses yang ada, seolah membenarkan tesis Hobbes
mengenai “Politik Muka Dua”, politik yang hanya menawarkan iming-iming
kekuasaan, dinikmati segelintir orang yang berada di sekitaran kursi dan
melempar jauh para lawan yang selama ini menghalau jalan. Tidak mudah
menghadirkan kepercayaan di hati rakyat melihat dinamika kebangsaan hari ini
yang begitu penuh euphoria pencitraan tetapi disisi lain ketimpangan,
kemiskinan, kerusuhan sosial dan perilaku amoral penguasanya menjadi gelisah
saban hari.
Dalam sejarah pemikiran politik modern awal, terdapat tiga orang yang dianggap
publik/ pembaca sebagai orang yang penuh tipu daya atau sebagaimana dinyatakan Hobbes,
memainkan peran jahat. Mereka adalah Machiavelli, Hobbes dan Bernarld
Mandeville yang dikenal pula dengan sebutan “Man-Devil” (orang
jahat). Dalam lakon politik sejalan dengan yang dipaparkan David Runciman
seorang dosen senior teori politik serta penulis The Politics of Good
Intentions seolah membenarkan bahwa begitu banyak kemunafikan yang terjadi
dalam dunia politik kontemporer-tidak diragukan, publik pun diam-diam
masing-masing mempunyai contoh favorit mulai dari para pezina moralis hingga
orang-orang yang suka membenarkan kesalahan (mudslinging de-gooders).
Mengikuti akar filsafat Hobbes maupun Runciman tentu wacana itu
tidak mengherankan. Tidak seorang pun menyukainya, tetapi setiap orang ada di
dalamnya menjadikan politik “bermuka dua” dan bebas nilai. Dalam konteks local
wisdom tentu kita bisa melihat kajian yang lebih memanusiakan lagi. Tetapi,
sebuah kondisi sosial lokal masyarakat bugis Makassar tentang terawang “taue
pada sianre bale” merupakan terawang politik masa depan yang akan terjadi
jika kita menyeruput mentah-mentah politik hanya sebagai alat mendapatkan
kekuasaan belaka.
Trilogi Will, Mind, Power
Tindakan korup/ menyimpang adalah tindak kekuasaan.
Kekuasaan adalah kekuatan. Nenek moyang Indonesia mengenal trilogy tekad,
ucap, lampah atau Will, Mind, Power yang mana ketiganya adalah satu.
Sejarah hati nurani rakyat, pikiran rakyat, dan kekuatan rakyat di Indonesia
telah membuktikan kesabarannya yang luar biasa. Ronggowarsito mengajarkan pada
kita, bahwa kehendak dan pemikiran Negara baik-baik saja, namun Negara toh
tetap edan. Ini akibat eksekusi tidak sejalan dengan niat dan pikirannya. Atau
karena tindakan Negara digantikan oleh logika orang-orang tidak waras: korup
dulu, perkara belakangan. Lihatlah para pemimpin kita di zaman kolonial yang
ingin membebaskan rakyatnya dari penjajahan. Mereka rela dipenjara sebelum
rakyatnya merdeka dari penjajahan, kemiskinan dan kebodohan. Sampai tua pun,
setelah rakyat merdeka, mereka pantang kaya seperti yang diperlihatkan Bung
Hatta, Bung Sjahrir, Haji Agus Salim,Tan Malaka, dan Ki Hajar Dewantoro. Mereka
berpikir untuk rakyat, tidak memikirkan diri dan keluarganya. Sejak 1950
setelah kemerdekaan, kisah kegagalan demi kegagalan dipertontonkan para
pemimpin Indonesia. Dengan kedok “atas nama rakyat” mereka rakus mengurus diri
sendiri. Hajat orang banyak hanya berhenti pada kata-kata. Kekuasaan hanya
dilihat sebagai kue raksasa yang nikmat untuk dibagi dan diperebutkan. Rakyat
hanya pelengkap, bukan subjek kalimat lagi. Rakyat hanya bulan-bulanan para
pemimpinnya (Jacob Sumardjo,2012)
Memimpin Indonesia, memimpin Sulawesi Selatan adalah
memimpin manusia-manusia. Rakyat adalah manusia, bukan gerombolan binatang yang
bisa dinaikkan ke atas truk lalu dipindah kesana-kemari, dari periode ke
periode tanpa perubahan berarti. Dalam lontara Latoa yang memuat
percakapan Petta Matinroe ri Lariang, seorang bangsawan dan pemikir
kerajaan Bone dengan Petta Tomarilaleng Pawelaie ri Lompu dikemukakan
paseng (petuah):
Pada Toi, iko pakkatẽnni adẽ’e. Issẽng majeppui
riasẽng nge adẽ’. Muatutuiwi, mupakaraja, apa adẽ’e ritu riasẽng tau. Nakko
temmuissẽnggi riasẽng nge adẽ’ tencaji ri tu riasẽng nge tau. Apa de’tu
appongẽnna adẽ’e, sangngadinna lẽmpu’e, muparajaiwi tau mu ri dewata e,
mumatanre siri’, apa ianaritu to maraja tau’ e ri adẽ’e, matanre siri, iana
ritu tau temmassarang lempu’e, tau makkuae.
Seperti juga, hai engkau pemangku adat, pahamilah
dengan sungguh-sungguh apa yang disebut ade’, peliharalah, hormatilah, karena
ade’ itulah yang disebut manusia. Apabila engkau tak mengetahui apa yang
disebut ade’ maka tak jadilah manusia itu disebut manusia karena tak ada
pangkalnya ade’ itu kecuali kejujuran. Besarkanlah takutmu kepada Dewata dan
pertinggilah siri’, karena adapun orang yang disebut besar takutnya kepada
Dewata dan tinggi siri’nya itulah orang yang tak terpisah dengan kejujuran (A.
Mattulada, 1985)
Rakyat yang miskin, kurang pendidikan adalah rakyat
dengan penderitaannya sendiri, mempercayai mereka yang ditunjuk sebagai
pemimpin. Keteladanan sang pemimpin dicari seperti keteladanan Agus Salim yang
masih mengontrak rumah meski berkali-kali menjadi menteri. Tidaklah kita boleh
lupa pada pasẽng yang berbunyi:
“….. dia adalah penyuci negeri (orang banyak),
penghimpun orang banyak agar tidak bercerai berai, pemagar negeri agar tidak
dirasuki perbuatan sewenang-wenang, tempat berlindungnya orang lemah lagi
jujur, tempat terbenturnya orang kuat lagi culas.
Menjelang hari H pemilihan Kepala Daerah, di atas kertas-kertas suara
dititipkan harkat dan martabat kita kepada satu figure untuk membangun
konsolidasi dan mencetak prestasi-prestasi lebih besar lagi ke depan. Meski kami
tak kenal siapa saudara, saudara dipilih bukan dilotre (Iwan Fals).
Selamat tahun baru 2013, selamat mengawal pesta
demokrasi 22 Januari, selamat mengawal pemerintahan yang bersih seterusnya.
0 komentar:
Posting Komentar