Makalah
PENDIDIKAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL
Oleh :
FINA IRMAWATI SYAM
KORPS HMI-WATI (KOHATI)
CABANG GOWA RAYA
Diajukan sebagai syarat dalam mengikuti Latihan Khusus KOHATI yang dilaksanakan KORPS HMI-WATI Cabang Malang
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, pemilik segala waktu termasuk yang digunakan penyusun dalam menyelesaikan makalah. Salawat dan salam atas junjungan Nabi Muhammad saw sebagai filosof tersohor dimata segala filosof.
Makalah dengan judul “pendidikan perempuan dalam pembangun nasional” yang sedang berada ditangan pembaca merupakan ulasan tentang bagaimana mengabadikan diri untuk membangun kapasitas dalam bingakai kebersamaan” diajukan sebagai salah satu syarat umtuk mengikuti Latihan Khusus KOHATI (LKK).
Penyusun mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang ikut berpartisipasi dalam proses penyusunan makalah ini. Terutama kepada kedua orang tua yang senantiasa setia mencurahkan dukungan dan doanya yang tak sanggup ku balas . Penyusun yakin sumbangsi itu menjadi suatu hal yang subtantif sampai terselesaikannya makalah ini. Terimah kasih pula kepada teman-teman HMI dan KOHATI Cabang Gowa Raya yang menemaniku begadang ria menyelesaikan makalah ini yang tanpanya penulis telah terkapar tidur di kasur lusu yang tak diketaui kapan bangunnya.
Walaupun penyusun telah mengerahkan tenaga dan usaha yang maksimal dalam penyusunan makalah ini, tentunya masih banyak hal-hal yang perlu dikritisi. Kritik dan saran sangat penyusun harapkan demi kemajuan dunia intelektual.
Penyusun
Gowa, 15 Juni 2012
DAFTAR ISI
Hal
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………..1
B. Rumusan Masalah …………………………………………….3
C. Tujuan Penulisan ……………………………………………..4
D. Manfaat Penulisan…………………………………………….4
BAB II PEMBAHASAN
A. Potret Pendidikan Perempuan di Indonesia …………………..5
B. Peran Pendidikan Perempuan
Dalam Pembangunan Nasional……………………………….10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………14
B. Saran……………………………………………………………15
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka partisipasi pendidikan bagi kaum perempuan yang masih rendah. Kenyataan empiris bahwa masih banyak perempuan yang hanya lulusan pendidikan dasar dan tidak melanjutkan ke pendidikan menengah atau bahkan pendidikan tinggi. Ada beberapa variabel yang menyebabkan kenapa banyak perempuan yang tidak memiliki kecenderungan untuk melanjutkan pendidikannya.
Pertama, pandangan teologis bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Dia adalah tulang rusuk lelaki, sehingga posisinya dalam relasi antara lelaki dan perempuan adalah relasi yang tidak seimbang. Lelaki lebih superior sementara perempuan lebih inferior. Pandangan ini ada yang diangkat dari teks ajaran agama, bahwa yang bisa menjadi pemimpin adalah kaum lelaki sementara perempuan tidak bisa menjadi pemimpin.
Kedua, pandangan sosiologis, bahwa perempuan dalam banyak hal diposisikan berada di dalam rumah. Lebih banyak berada di dalam urusan domestik ketimbang urusan publik. Masih banyak pandangan sosiologis, yang menyatakan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Relasi antara lelaki dan perempuan berada di ruang rumah tangga, sehingga perempuan lebih banyak berada di ruang domestik tersebut.
Ketiga, pandangan psikhologis, bahwa perempuan dianggap tidak penting untuk berpendidikan karena posisinya lebih banyak menjadi isteri. Di dalam tradisi kita, masih banyak anggapan bahwa perempuan harus cepat dikawinkan. Kawin muda jauh lebih baik ketimbang menjadi perawan tua. Ada ketakutan luar biasa di kalangan orang tua, jika anak perempuannya tidak sesegera mungkin memperoleh jodoh. Ada semacam pandangan bahwa lebih baik menjadi janda muda dari pada menjadi perawan tua.
Keempat, pandangan budaya, adanya anggapan bahwa perempuan merupakan sosok manusia yang secara kebudayaan memang tidak memerlukan pendidikan tinggi. Di dalam hal ini, maka perempuan hanya menjadi pelengkap saja. Ada ungkapan tradisi yang menyatakan ”perempuan itu adalah kawan di belakang atau di dalam rumah.
Kelima, pandangan ekonomi, bahwa banyak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikannya, karena ketidakmampuan ekonomi. Banyak orang tua tidak melanjutkan pendidikan pendidikan anak-anaknya. Banyak yang karena alasan ekonomi kemudian perempuan tidak melanjutkan pendidikannya. Jika misalnya ada dua anak: lelaki dan perempuan, maka yang diminta untuk melanjutkan adalah yang lelaki, sementara yang perempuan sesegera mungkin dikawinkan agar terlepas dari beban ekonomi keluarga.
Pandangan stereotipis seperti ini yang menyebabkan kenapa angka partisipasi pendidikan di kalangan perempuan masih rendah. Banyak perempuan, terutama di daerah pedesaan, yang kemudian tidak melanjutkan pendidikannya. Jika sudah lulus sekolah dasar, maka sudah dianggap cukup. Yang penting bisa membaca. Di antara sekian banyak variabel tersebut, mungkin variabel ekonomi yang lebih dominan ketimbang variabel-variabel lainnya. Seperti diketahui bahwa jumlah masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan adalah masih sekitar 17,75% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari angka ini, maka yang masih dominan adalah di wilayah pedesaan. Makanya jika persoalan kemiskinan itu dikaitkan dengan pandangan budaya, sosial, dan psikhologis masyarakat, maka pantaslah jika angka partisipasi pendidikan perempuan masih rendah.
Memotret realitas kehidupan perempuan yang demikian, maka Korps HMI-Wati (KOHATI) sebagai organisasi perempuan dalam tubuh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dalam dinamika pembangunan bangsa telah menunjukkan kiprah sejarah yang tidak terbantahkan lagi, maka KOHATI mempunyai tanggung jawab moral untuk mengentaskan problematika perempuan dan menempatkan perempuan dalam peran dan fungsinya sebagai mitra pembaharu pembangunan bangsa. Peran KOHATI hari ini dituntut untuk lebih berani membentuk diri sebagai bentuk komitmen untuk segera berbenah menuju perbaikan yang lebih riil dan bersanding dengan budaya saing global. KOHATI harus lebih riil dalam proses pembangunan umat dan bangsa, sehingga menjadi pelopor bangkitnya perempuan sebagai subyek pembangunan yang handal.
Dari dasar pemikiran di atas, maka penulis berupaya semaksimal mungkin untuk mencoba untuk ikut andil dalam pembaharu pembangunan bangsa, menuju terwujudnya INSAN CITA HMI yaitu membina insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab terhadap terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang di Ridhoi Allah SWT, lewat kegiatan Latihan Khusus Kohati (LKK) tingkat Nasional Cabang Malang.
Dimana makalah dengan judul ” pendidikan perempuan dalam pembangunan bangsa” ini merupakan prasyarat dalam mengikutinya. Harapan besar bagi penulis, mudah-mudahan dapat memunculkan figur kader yang siap membina umat dan bangsa di masa depan serta tangguh dalam menghadapi tantangan masa depan.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis mengangkat rumusan masalah :
1. Bagaimana potret pendidikan perempuan di Indonesia?
2. Bagaimana peran pendidikan perempuan dalam pembangunan nasional ?
B. Tujuan Penulisan
Dari rumusan di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah
1. Sebagai prasyarat untuk mengikuti Latihan Khusu Kohati (LKK) Cabang Malang
2. Untuk mengetahui potret pendidikan perempuan di Indonesia
3. Untuk mengetahui peran pendidikan perempuan dalam pembengunan nasional
C. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pembacanya
1. Memberikan wawasan tentang pendidikan perempuan dalam pembangunan nasional.
2. Sebagai referensi bagi siapa aja yang ingin membuat tulisan yang sejenisnya
BAB II
Pembahasan
A. Potret pendidikan perempuan di Indonesia
Bulan April dapat dikatakan merupakan bulanya perempuan Indonesia, dan biasanya pikiran kita langsung tertuju pada seorang pahlawan nasional yang berasal dari Jepara, yaitu Raden Ajeng Kartini (1879-1904). Tak disangkal lagi beliau dinobatkan sebagai tokoh penggerak emansipasi kaum perempuan di Indonesia. Berbicara mengenai perkembangan sejarah emansipasi perempuan, sebenarnya Indonesia mempunyai banyak sekali tokoh perintis emansipasi perempuan, baik itu yang bergerak dalam isu sosial, kesetaraan pendidikan dan juga profesional, namun keberadaanya kadang kurang kita ketahui.
Para penggiat emansipasi perempuan Indonesia sebenarnya telah terlibat dalam isu-isu perempuan sejak awal abad keduapuluh. Sebut saja, Dewi Sartika (1884-1947), seorang bangsawan Sunda di Jawa Barat yang mendirikan sekolah pada tahun 1904, yang idenya dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dari Raden Ajeng Kartini. Di Sumatra Barat, terdapat nama Rahmah El-Yunusiah yang berjuang untuk mendapatkan keseteraan terhadap akses pendidikan bagi kaum perempuan, serta Rasuna Said yang memperjuangan kaum perempuan untuk dapat bergerak dalam bidang politik dan jurnalisme. Lahir dengan latar belakang Islam yang kuat, pada tanggal 20 Desember 1900, El-Yunusiah merintis sebuah sekolah Islam yang didedikasikan khusus untuk perempuan. El-Yunusiah percaya bahwa perempuan dalam banyak hal tertinggal kaum pria dan hal ini lah yang menjadi motor penggerak untuk membangun Madrasah Diniyah Puteri (Pesantren khusus Perempuan). Sekolah inilah yang kemudian menjadi inspirasi bagi aktivis perempuan di negara lain untuk berbuat yang sama. El-Yunusiah berhasil mengkolaborasikan syariah Islam dengan gerakan emansipasi perempuan di Indonesia, dan karena hal inilah kemudian dia menadapat gelar "Kartini Sekolah Islam" (Burhanudin, 2001).
Perempuan lain yang menonjol adalah Roehanna Koeddoes, yang menerbitkan Soenting Melajoe, terbitan ini didedikasikan untuk kemajuan kaum perempuan. Melalui terbitan ini, Koeddoes menyebarluaskan tidak hanya ide-ide emansipasi perempuan dan keterampilan perempuan, tetapi juga mengenai konsep kesetaraan gender. Meskipun majalah Soenting Melajoe hanya terbit untuk untuk waktu singkat yaitu dari 1912-1921, namun hal tersebut berhasil meningkatkan kesadaran perempuan Indonesia untuk lebih peka mengenai beberapa isu, seperti peran mereka dalam pendidikan, politik, dan kehidupan social.
Perjuangan El-Yunusiah dan pejuang emansipasi lainnya untuk memperbaiki kondisi perempuan tidak dapat dipisahkan dari gelombang gerakan modernisasi Islam di Sumatera Barat khususnya dan di Indonesia pada umumnya pada awal abad kedua puluh. Muhammadiyah, lokomotif gerakan modernisasi Islam di Indonesia, meletakkan penekanan kuat pada pendidikan, termasuk pendidikan.
Muhammadiyah memilih kegiatan pendidikan dan sosial sebagai agenda yang paling penting. Sebagai organisasi modern, Muhammadiyah percaya bahwa perempuan harus dimasukkan dalam proses modernisasi. Ini berarti bahwa pendidikan perempuan menjadi prioritas tertinggi dalam kegiatannya. Nyai Ahmad Dahlan, istri Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, mendirikan Sopo Tresno pada tahun 1914, sebuah lingkar studi yang didedikasikan untuk perempuan yang menjadi sarana penyebaran semangat progresif di kalangan perempuan, terutama mereka yang terlibat dalam organisasi Muhammadiyah. Pada tahun 1917, lingkar studi ini kemudian diubah menjadi organisasi yang lebih besar disebut Aisyiyah, dan menjadi sub-organisasi perempuan di Muhammadiyah.
Seperti halnya Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modernis, Persis (Persatuan Islam), mendirikan Persistri sebagai sub organisasi yang bersangkutan dengan perempuan. Kegiatan ini berorientasi pada pemberian pengarahan dan bimbingan agama kepada para anggotanya. Nahdlatul Ulama (NU) membentuk sub organisasi yang peduli dengan perempuan, bernama Muslimat. Aisyiyah, Muslimat, dan Persistri kesemuanya memberikan keterampilan dan pengetahuan bagi perempuan, serta menumbuhkan semangat untuk mendirikan cabang dari organisasi mereka di seluruh negeri untuk mendukung kegiatan mereka.
Para aktivis perempuan Indonesia pada awal abad kedua puluh dapat dilihat bahwa gerakan utama mereka adalah dalam hal pendidikan perempuan. Hal ini terlihat dalam perjuangan El-Yunusiah dan Nyai Ahmad Dahlan yang mendedikasikan perjuangan mereka untuk pendidikan Islam bagi kaum perempuan. Pemahaman ini tampaknya logis, mengingat bahwa pada waktu itu sekolah tetap tertutup bagi perempuan. Hanya sejumlah kecil perempuan dari kelompok bangsawan, seperti Kartini, yang bisa menikmati pendidikan.
Beberapa aktivis perempuan memiliki pemahaman atau penekanan isu yang sedikit berbeda tentang emansipasi perempuan, sebut saja Rasuna Said yang lebih menekankan pentingnya kesadaran politik perempuan sebagai bagian dari emansipasi perempuan. Dapat dikatakan bahwa Rasuna Said adalah aktivis perempuan pertama yang percaya bahwa perempuan tidak dapat dipisahkan dari politik. Rasimah Ismail, penerus dari perjuangan Rasuna Said, menekankan keyakinannya bahwa perempuan harus memberikan kontribusi nyata untuk gerakan kemerdekaan Indonesia. Kesadaran politik perempuan menjadi lebih jelas ketika pada tahun 1928 pada kongres nasional pertama perempuan yang diadakan di Jakarta. Pada kongres perempuan ini membahas masalah peningkatan pendidikan perempuan, dan juga mendukung gerakan kemerdekaan. Setahun kemudian, pada kongres kedua juga di Jakarta, mereka disajikan kembali pada agenda politik termasuk dukungan kaum perempuan bagi kemerdekaan dan penolakan mereka terhadap provinsialisme (kedaerahan).
RA Kartini yang merupakan inspirator pendidikan bagi perempuan Indonesia. Seperti kita tahu, RA Kartini getol sekali untuk memperjuangkan emansipasi perempuan dan tentunya pendidikan untuk kaum hawa ini. Potret pendidikan perempuan di Indonesia ini di dapatkan dari data Unicef dalam satu dokumen yang berjudul “Fact Sheet: Girl’s Education in Indonesia” yaitu :
1. Pemerintah Republik Indonesia sejak kemedekaannya pada tahun 1945 telah dengan mantap mengembangkan sistem pendidikannya dan juga wajib belajar 9 tahun pendidikan dasar yang dideklarasikan dalam peraturan pemerintah tahun 1994.
2. Kebanyakan anak-anak,baik laki-laki atau pun perempuan, bersekolah di sekolah dasar dengan skala rasio pendaftaran (NER = Net Enrollment Ratio) mencapai 93 persen pada tahun 2002, tanpa adanya perbedaan gender yang signifikan.
3. Di tingkat sekolah menengah pertama, NER turun menjadi 61,6 persen dengan rasio yang agak lebih tinggi untuk perempuan (62,4 persen) dibandingkan laki-laki (60,9 persen)
4. Lebih banyak anak-anak yang berasal dari daerah perkotaan (71,9 persen) yang melanjutkan ke sekolah menengah pertama dibandingkan dari daerah pedesaan (54,1 persen)
5. Para pendaftar sangat berbeda dalam hal kelompok pendapatan orang tuanya. 20 persen siswa miskin berjumlah kurang dari 49,9 persen dibandingkan dnegan 72,2 persen dari 20 persen siswa kaya.
6. Data dari Kementrian Pendidikan menunjukkan perbedaan gender yang signifikan dalam hal rata-rata siswa yang putus sekolah, baik di tingkat sekolah dasar atau pun di sekolah menengah pertama. Lebih banyak anak perempuan yang putus sekolah dibandingkan dengan laki-laki. Di sekolah dasar, dari 10 siswa yang keluar 6 diantaranya adalah perempuan dan sisanya laki-laki. Hal ini sama juga terjadi di tingkat sekolah menengah pertama. Perbedaan gender agak melebar di sekolah menengah atas menjadi 7 siswa perempuan yang putus sekolah di setiap 3 siswa laki-laki yang putus sekolah (Kementrian Pendidikan Nasional, 2002)
7. Hampir 1,8 juta anak-anak di sekolah dasar berusia 7-12 tahun, dan 4,8 juta siswa berusia 13-15, dan sisanya tidak bersekolah (Survei Sosial dan Ekonomi Nasional, 2002)
8. Data di rata-rata melanjutkan sekolah menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan agaknya sama yang melanjutkan dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama. Rata-rata melanjutkan sekolah dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama untuk siswa laki-laki (83 persen) agak lebih tinggi-meskipun tidak signifikan-dibandingkan dengan siswa perempuan (81 persen). Perbedaan gender dalam hal rata-rata melajutkan sekolah itu semakin lebar sedikit-meskipun masih tidak signifikan-di jenjang sekolah yang lebih tinggi yakni dari sekolah menengah pertama ke sekolah menengah atas (73 persen siswa laki-laki berbanding dengan 69 persen siswa perempuan)
9. Kemampuan melek huruf masih cukup tinggi satu dekade terakhir untuk kelompok umur 15-24 tahun: 96,6 persen di tahun 1992 dan 98,7 persen di tahun 2002. Tidak ada perbedaan gender dalam hal melek huruf yang cukup signifikan sebagaimana diindikasikan dengan indeks kesetaraan gender 97,9 persen di tahun 1992 dan 99,8 persen di tahun 2002
10. 85 persen perempuan Indonesia yang berusia 15-19 setidaknya mempunyai satu kesalahan konsep yang utama tentang HIV/AIDS atau tidak pernah mendengar tentang AIDS.
Setelah sekilas membaca 10 potert pendidikan perempuan di Indonesia di atas, dapat kita lihat bersama bahwa pada dasarnya kesetaraan gender dalam hal kesempatan untuk bersekolah tidak lah terlalu signifikan. Mungkin dengan hal ini RA Kartini merasa tersenyum dan senang di sana bahwa secara kuantitas perempuan Indonesia yang berpendidikan mempunyai jumlah yang kurang lebih sama.
Potert pendidikan perempuan di Indonesia di atas merupakan fakta pembuka dari permasalahan atau hambatan pendidikan perempuan dan juga tindakan pemerintah untuk menanggulangi hal tersebut.
B. Peran pendidikan perempuan dalam pembangunan nasional
Perempuan dan pendidikan dalam era terbuka dan modernitas kerap menjadi diskursus yang tidak pernah kering dibicarakan. Isu itu termasuk sangat aktual dalam ranah politik kontemporer. Isu perempuan misalnya masih sering diperdebatkan kalangan mengingat posisinya yang belum sejajar dengan kaum laki-laki. Bagi kaum feminis dunia hari ini harus mengakui posisi perempuan dalam semua sektor kehidupan. Karena itu kaum perempuan harus punya hak yang sama dalam mengakses pendidikan seluas-luasnya. Kondisi itu tentu sangat positif bagi kaum perempuan yang ingin berpartisipasi dalam mengisi pembangunan. Karena rintangan budaya paternalistik semakin lama semakin tidak populer di kalangan masyarakat. Dan dalam konteks pembangunan bangsa kedepan di syaratkan bagi semua elemen bangsa untuk dapat menyumbangkan karyanya bagi kemajuan bangsa dan negara. Kaum perempuan yang merupakan salah satu bagian dari potensi itu tentu punya peluang besar agar bangsa ini bisa maju melalui peran dan kontribusi yang diberikannya. Ini artinya jasa-jasa kaum perempuan itu tidak sedikit sudah dirasakan manfaatnya oleh bangsa ini. Salah satu dari mereka yang bisa dikenang yaitu RA. Kartini. Wanita Jawa yang besar dalam lingkungan keraton itu adalah perintis gerakan perempuan dalam melawan hegemoni penjajah juga kaum laki-laki di Indonesia. Akar sejarah itu membuka wawasan kaum perempuan agar tidak tinggal diam dalam membesarkan nama bangsa dimata dunia internasional. Jadi Kartini tidak hanya harum dalam peta sejarah perjuangan kaum perempuan untuk wanita Indonesia umumnya, tapi ia juga pelopor perempuan pertama Indonesia yang memperjuangkan hak-hak perempuan di dunia melalui goresan pikirannya ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Buku bersejarah itu adalah hasil surat menyuratnya dengan seorang perempuan di negara Belanda adalah bukti gagasan seorang perempuan yang ‘memberontak’ pada nilai-nilai paternalis dan penjajahan.
Gagasan Kartini yang brilian itu sekarang diperingati oleh perempuan Indonesia sebagai tonggak kebangkitan kaum perempuan Indonesia. Jejak –jejaknya sekarang telah memberi inspirasi bagi perempuan dalam setiap zaman. Di masa kemerdekaan lahir pahlawan-pahlawan perempuan yaitu Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Dhien yang ikut mengusir penjajah dari Indonesia. Sementara dalam era pemerintahan Soekarno tak ketinggalan partisipasi kaum perempuan dalam mengisi kemerdekaan dalam cabinet Soekarno. Masih di era revolusi pemerntahan Soekarno, ada seorang perempuan yang di juluki si pending emas sebagai penerjun payung pertama yang ikut melepas propinsi Papua – dulu Irian Barat – dari belenggu penjajahan tentara Belanda. Sumbangsih perempuan terus berlanjut sampai sekarang ini. Perempuan tidak pernah ketinggalan dalam memberi sumbangsih kemerdekaan maupun pembangunan pada Negara ini lewat karya dan pikiran-pikirannya bagi kemajuan bangsa ini. Karena itu maju mundurnya negara ini juga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Sejarah bahwa perempuan juga punya andil besar dalam memberi saham buat kemajuan negara, maka harus kiranya perempuan Indonesia memiliki pengetahuan yang lebih dalam mengahadapi perkembangan zaman yang semakin kompleks. Globalisasi dunia luar yang mempengaruhi nilai-nilai lokal harus bisa diatasi kaum perempuan dengan jitu!
Perempuan itu harus memiliki nilai-nilai yang dapat memfilter nilai-nilai negatif yang merusak dan merongrong bangsa kita. Salah satu yang bisa membantu perempuan tangguh mengahadapi pasar bebas dan globalisasi yaitu pendidikan. Pendidikan yaitu sarana yang dapat membantu dan menciptakan manusia-manusia yang memiliki kualitas iman dan ilmu. Bangsa ini harus memperbaiki kualitas pendidikan maupun kesempatan bagi masyarakat seluas-luasnya dalam hal pendidikan. Karena dengan cara ini kualitas manusia Indonesia yang baik dan kompetitif dapat kita wujudkan. Dan tentu kaum perempuan juga sangat membutuhkan pendidikan yang bermutu. Persoalannya dunia pendidikan kita masih berada dalam era transisi ; era sentralistik ke desentralisasi. Sebuah perubahan yang hingga kini masih melakukan berbagai perbaikan atau reformasi disana-sini. Oleh karena itu kita harus memaklumi tuntutan besar sebagian masyarakat yang belum puas dengan kebijakan pendidikan yang ada sekarang. Hal itu bukan berarti kita menomorduakan pendidikan. Tapi capaian-capain reformasi yang ideal memang harus terus di reformasi. Maklum yang ideal tidak semudah membalik telapak tangan. Semua butuh waktu! Terlepas dari itu, pendidikan itu out-putnya adalah memperbaiki kualitas manusia. Dalam data Indeks pendidikan (HDI), Indonesia berada di 3 peringkat 112 dari 114 negara di dunia. Hal itu mencerminkan betapa rendah perhatian negara kita pada pendidikan dibanding negara lain. Dengan negara tetangga kita Malaysia kita sudah jauh tertinggal. Padahal semua orang tahu bahwa pada tahun-tahun 1980-an kita sebagai pengekspor guru untuk mengajar mereka agar menjadi negara yang maju. Namun 20 tahun kemudian kita yang harus belajar ke negara mereka tentang kemajuan. Apa yang salah dari kita sebagai bangsa? Kita terlalu memprioritaskan pembangunan fisik. Sementara mereka lebih memprioritaskan pembangunan negaranya pada pembangunan sumber daya manusia. Itu tampak dari alokasi kebijakan pemerintah kedua negara ini dalam pengalokasian dana pembangunannya selama dipimpin masing – masing presiden pendahulunya. Soeharto pro pembangunan fisik, sementara Mahathir Mohammad pro pembangunan manusianya dalam membangun Malaysia. Kembali pada persoalan perempuan dan pendidikan di Indonesia.
Saat ini kita dibombardir oleh arus negatif pasar bebas di semua lini kehidupan. Dan seringkali korbannya banyak dari kaum perempuan itu sendiri. Dan hingga kini formula pemerintahmengatasi dampak globalisasi itu sifatnya masih sebatas kulit. Yang tentu cara ini tidak akan menyelesaikan akar masalahnya secara tuntas. Coba lihat suksesnya aparat pemerintah (polisi dan trantib) menangkap dan menggerebek jaringan kejahatan yang sering kita saksikan di media massa. Tapi kenapa upaya itu tidak pernah selesai atau memberi efek jera. Atau pada kesempatan yang lain bermunculan kasus-kasus yang sama muncul dan muncul lagi. Lihat misalnya penggerebekan dan penangkapan wanita tuna susila (WTS) atau trafficking penjualan perempuan ke luar negeri yang tidak pernah habis. Ini karena akar dari masalah itu yang tidak tersentuh. Karena itu memutus mata rantai penyakit sosial itu membutuhkan formula yang jitu dan tepat. Salah satunya yaitu melalui lembaga pendidikan. Terkait dengan itu, Pancasila dan UUD 1945 negara kita telah menganjurkan seluruh anak pria dan perempuan berusia 5 – 12 tahun wajib masuk sekolah. Dan wajib belajar 9 tahun. Landasan konstitusi itu menunjukan bahwa sejak negara ini berdiri kita sudah memerangi kebodohan atau buta huruf di kalangan masyarakat kita.
Dalam perjalanan sejarah, misi konstitusi itu berhasil membuat masyarakat kita selama masa pemerintahan Soeharto berhasil melek huruf melalui program penentasan buta aksara di desa-desa pada kalangan kaum manula. Namun bisa baca atau melek huruf ternyata bukan jaminan buat bangsa kita bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Sebuah situasi yang hingga kini belum bisa kita selesaikan. Itu artinya misi pembangunan kita masih harus terus di galakan secara maksimal. Dan pendidikan menjadi sarana dalam menyiapkan sumber daya manusia yang tangguh untuk mengelola alam kita yang berlimpah demi kemakmuran kita bersama. Inilah cita-cita dari negara ini di dirikan oleh founding father dan mother kita dahulu. Dan tidak ada alasan bagi bangsa ini untuk tidak melakukan perbaikan agar kita bisa menjadi bangsa yang tangguh dalam percaturan global nantinya.
.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bangsa ini harus yakin bahwa generasinya mampu hidup sejajar bila kita buka peluang pendidikan dan pemberdayaan itu bisa berjalan seiring sebagai agenda penyelesaian masalah bangsa secara tuntas. Dan perempuan yang berjasa dalam merintis kemerdekaan juga bisa dirasakan perannya dalam pembangunan negara ini melalui perjuangan menentaskan kaumnya yang masih banyak yang tertinggal maupun termarjinalkan dalam pembangunan yang belum berpihak pada perempuan selama ini. Artinya hak-hak yang sama dalam pembangunan bangsa dan negara ini tidak boleh dibangun secara parsial.
Konstruksi pemikiran perempuan dan laki-laki yang bias gender dalam pembangunan yang kita lakukan dalam menentukan kebijakan negara dalam semua sektor harus dihilangkan. Pemikiran itu ternyata hanya menjadikan kita menjadi bangsa yang kerdil dalam pentas global. Dan itupula yang ikut membuat hak-hak perempuan sulit berkembang dalam berhadapan dengan ekses negatif budaya kompetisi pasar bebas.
B. saran
Sudah waktunya generasi bangsa yang tercerahkan itu lahir menjadi penyelamat bangsa yang terpuruk karena keterbelakangan. Dan itu bisa hilang bila bangsa ini percaya pada peran lembaga pendidikan dalam membangun bangsa yang berkualitas dan maju. Saatnya bangsa ini mulai dari pemerintah, masyarakat dan elemen pentingdi negara ini harus mau mendorong upaya negara ini untuk membangun bangsa tercinta ini untuk memprioritaskan pendidikan dalam mencetak generasi muda yang tangguh dan kompetitif serta mandiri. Karena bukti negara-negara yang kuat dan maju yang kita saksikan lahir dari negara yang peduli pada pendidikan dan pemberdayaan masyarakat lemahnya. Dan negara kita mayoritas perempuan dan paling rentan masalah harus bisa segera diangkat harkat dan martabatnya untuk bisa berkontribusi membangun bangsa ini secara bersamasama. Dan pendidikan yang belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat yang ada harus kita bangun dan kita buka seluas-luasnya di negara ini.
Sebagai penutup dari makalah ini, saya berharap semoga uraian di atas berguna bagi para pembaca sehingga pembaca turut berpartisipasi untuk menghentikan budaya marginalisasi perempuan yang terjadi masyarakat kita.
Wassalam
DAFTAR PUSTKA
Fitri Balasong, Nur. 2008. Imaji : Sketsa Pergolakan Batin Perempuan. Makassar : Komunitas Sawerigading.
LP3 DPD KNPI SULSEL. 2010. Dimensi Kehidupan Perempuan. Makassar : LP3 KNPI Provinsi SULSEL.
Arif Sritua, 2006 , Negeri Terjajah, Resist Book, Yogyakarta.
Darmaningtias, 2007, Pendidikan Rusak-Rusakan, LkiS, Pelangi Aksara, Yogyakarta
Fakih Mansour, 2008, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Innist Press ,Yogyakarta.
Latif Abdullah, 2007, Pendidikan Berbasis Kemasyrakatan, PT. Refika Aditama, Bandung
Makmuralto Alto , 2007 , Dalam Diam Kita Tertindas, Paradigma Institut, Sungguh Minahasa Gowa..
Nuryatno Agus, 2008 ,Mazhab Pendidikan Kritis, Resist Book, Yogyakarta
Sobary Mohammad, 2007, kesalehan sosial, LKiS, yogyakarta.
Suharto Bowo Rakhmat, 2001, Perlindungan Hak Dunia Ketiga Atas Sumber Daya Alam, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar